Animasi biasanya identik dengan menggambar, meski tidak menutup kemungkinan untuk membuat animasi melalui medium lainnya seperti fotografi ataupun objek. Hal ini terutama karena pada dasarnya animasi adalah menciptakan gerakan, dan cara termudah adalah dengan menggambar rangkaian gerakan. Sehingga bisa dikatakan bahwa animasi adalah media berbasis kartun. Kesamaan dalam visualisasi antara komik strip (yang dikenal juga sebagai kartun strip) dengan animasi membuat istilah film kartun menjadi semakin lekat dengan animasi. Istilah film kartun sendiri memiliki nilai plus dan minus.
Nilai plusnya adalah karena kartun adalah cara menggambar yang biasanya menyederhanakan objeknya, menangkap esensi dari objek tersebut tetapi tetap mampu merepresentasikan objek orisinil-nya. Justru karena penyederhanaan inilah yang membuat kartun menjadi mudah untuk diikuti dan direspon dibandingkan sesuatu yang secara visual, realistik. Hal ini disebabkan karena kartun adalah bentuk penguatan melalui penyederhanaan (amplification through simplification) . Dengan penyederhanaan, khususnya pada karakter, akan membuat pemirsa lebihmudah melakukan role playing dan menjadi `satu` dengan karaktertersebut. Hal inilah yang menyebabkan mengapa gambar-gambar kartun bisa disukai oleh beragam orang, melintasi batas usia hingga negara. Akan lebih mudah untuk `mendengarkan` apa yang dikatakan karakter kartun dibandingkan bila hal yang sama disampaikan oleh karakter yang terlihat lebih realistik. Hanya saja, bentuk kartun yang sederhana dan cenderung jauh dari bentuk-bentuk realistis ini juga membawa stigma yang kurang menguntungkan: cap bahwa film kartun adalah hanya untuk konsumsi anak-anak saja. Hal ini terutama disebabkan bentuk-bentuk kartun yang kebanyakan sederhana dan lucu, seperti karakter Mickey Mouse, Donald Duck atau Totoro. Di Indonesia misalnya, seorang dewasa yang gemar menonton film animasi/film kartun biasanya akan digoda karena dianggap masih belum dewasa karena masih suka melihat film animasi tadi. Hal ini bisa jadi membuat eksplorasi film kartun/animasi sebagai sebuah medium menjadi lebih terbatas. Sebenarnya permainan sejauh mana tingkat penyederhanaan dari gambar kartun yang kita buat bisa sesuaikan dengan kebutuhan dan konteks dari untuk tujuan apa animasi yang akan kita buat. Jika kita menggambar sebuah dunia dengan gaya yang sangat kartun, maka jika benda-benda mati yang ada di dalam dunia tersebut tiba-tiba melompat dan menyanyi, maka hal itu masih bisa kita percayai. Tetapi jika kita ingin menampilkan kompleksitas serta kenyataan dari dunia ini, maka ada tingkat kerealistikan akan memainkan peran yang cukup penting. Misalnya begini. Saat Walt Disney mulai menganimasikan Snow White and the Seven Dwarves, mereka menemukan satu fakta bahwa saat mereka menggarap para kurcaci, yang dipentingkan di sana adalah karakterisasi dari masing-masing kurcaci tadi. Karena memiliki penampilan yang sangat kartun apalagi setiap karakter kurcaci cenderung harus berekspresi secara berlebih-lebihan (exaggerated) , maka gerakan-gerakan yang dibuat memiliki ruang jeda yang cukup luas bagi kemungkinan kesalahan gerakan. Tetapi saat menggarap Snow White yang notabene terlihat sebagai sosok putri dengan unsur manusia yang tinggi, maka seluruh gerakan yang dibuat harus benar-benar mendekati gerakan manusia. Jika tidak, maka gerakan yang `salah` tadi akan membuat Snow White menjadi aneh (out of character).



0 komentar:
Posting Komentar